Malang, 18 April 2010         06:30 AM
Sepanjang jalan Semeru masih berembun, cahaya matahari mengintip dari balik rimbun dedaunan di sepanjang jalan yang masih dingin. Terlihat sekelompok pria lanjut usia melintas dengan sepedanya masing-masing, usia mereka mungkin sekitar kepala lima namun masih terlihat bugar, mereka berhenti di salah satu sudut jalan, beberapa mengambil botol minum dan menenggaknya, beberapa mengelap peluh, terlihat beberapa orang lagi bergabung dengan kelompok itu, beberapa menit kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan, dengan sangat bersemangat.

Di sudut jalan yang lain para pedagang sudah bersiap menggelar lapak di pasar minggu, ya.. pasar yang hanya ada setiap minggu pagi, tempat warga Malang yang bisa bangun pagi di libur itu pergi, untuk sekedar mencari sarapan, menggandeng pasangan, atau bersama keluarga mengahabiskan akhir pekan. Selain pedagang yang menjual aneka jajanan, peralatan rumah tangga hingga obat oles serba guna ada pula Mas-mas berbaju ngejreng dari komunitas seni dari salah satu Universitas Negeri di Malang, mereka bermain alat musik, menyanyi, menari, berpantomim, sampai beratraksi dengan peralatan seadanya.

Jalan Semeru, belok kiri, 100 meter dari situ ada stadion yang merupakan markas salah satu tim sepakbola milik pemerintah Kota, di sampingnya terbentang arena olahraga untuk umum, tampak ramai walau sepagi itu, kalo sore hari akan lebih ramai lagi. Bila pagi itu hanya terlihat beberapa anak berseragam, bila sore akan hadir pemandangan mulai bocah-bocah yang menendang bola plastik sampai ibu-ibu muda, mereka berkelompok, memutar musik aerobik lalu mulai bersenam, dengan cantik.

Malang, kota yang menyimpan banyak kenangan untuk banyak orang, kenangan tentang pertemuan yang awalnya malu-malu namun akhirnya sama-sama mau, kenangan tentang jalanan sepi yang dilintasi senyum sepasang muda-mudi, kenangan tentang sebuah penantian yang akhirnya berujung manis, dan tentang sebuah pertemuan yang  akhirnya pantas untuk direlakan karena harus menemui perpisahan.

Kampus, mal, taman kota, masjid raya, gelanggang olahraga, pasar, terminal, stasiun, toko helm, kolam ikan, tambal ban. Pertemuan terjadi dimana saja, kapan saja, siang atau malam, hujan atau panas, disengaja maupun tidak disengaja. Dan sebuah perpisahan pun juga begitu, bisa terjadi kapan saja dan dimanapun dia hendak hadir...

Tapi tidak selalu yang menemukan akan memisahkan, seperti halnya yang ditemukan akan dipisahkan...

Semalam, Dita, sahabat Ajeng menelefon Rio, dering telefon genggamnya diikuti perasaan was-was, dan telefon itu ditutup dengan perasaan kecewa, yang dulu menemukan kini akhirnya... dipisahkan. Hidupnya berjalan baik-baik saja sebelum kehadiran seorang wanita dimana hatinya tertambat itu, dan kini perpisahan membuat pertemuan akhirnya pantas direlakan.


"Ajeng titip salam buat kamu, dia bilang makasih atas semuanya, dia ga nyesel sama sekali ketemu sama kau Yo. Dia sekarang bahagia dengan cinta lamanya yang akhirnya kembali, udah Yo seperti kata Ajeng, kamu bakal baik-baik aja tanpanya"


"Makasih Dit, met malem.."


Pagi itu, di sebuah kamar berdinding biru, cahaya mentari pagi halus menyelinap ke tatapan kosong Rio, cahaya pagi yang tadi menyapa pepohonan jalan Semeru, dan mungkin cahaya yang sama dengan sebuah pagi dimana mereka dipertemukan, yang sampai detik ini masih tersimpan rapi dalam ingatan.

Yang ditemukan, akhirnya pergi, menghadirkan perpisahan yang terasa dingin. Meninggalkan seseorang dalam sendiri, seseorang yang masih berharap semua akan kembali dan menolak pertemuan baru. Sebuah hati yang sepertinya telah nyaman, dan sebuah rasa yang ingin sekali secara langsung diungkapkan.