Archive for November 2012

Fajar di Pelupuk Rindu #6






Masih tetap tentang pagi dimana fajar  selalu datang dengan harapan baru, pagi itupun harapan-harapan baru tersirat dari wajah-wajah bahagia, ratusan mahasiswa bertoga memenuhi halaman parkir UMM Dome, sebenarnya ini juga tentang akhir perjalanan panjang, dan awal perjalanan panjang yang baru.

Perjalanan yang diawali dengan satu langkah awal, kemudian disusul langkah-langkah kecil maupun besar sambil sesekali dihiasi lompatan dan jalan mundur. Diwarnai dengan jatuh dan bangun,, senyum dan tangis, kini sampai pada sebuah batas.

Sebuah batas antara dunia kini dan masa depan, dimana harapan maupun keputus asaan baru mulai dirajut, dimana perenungan mulai terlihat sayup-sayup.

Perenungan tentang beberapa bulan yang telah lewat, sekarang sudah tak sepedih kemarin, sudah lebih baik. Merelakan adalah obat dari setiap kehilangan, dan Rio tahu persis itu

Dilintasinya Gedung kuliah bersama, gedung dimana dia dan Ajeng bertemu untuk pertama kalinya, di gedung 6 lantai itu dia pernah meniti setiap tangga karena lift mati, melawan dingin dan kantuk hanya untuk melihat sebuah senyum, di gedung itu, ya disitu mereka bertiga bertemu, Rio, Ajeng, dan silaunya fajar.

Sudah 15 menit dia berdiri menatap gedung itu, terakhir kali mungkin, sejenak saja bernostalgia tak ada salahnya, pikir Rio.


"Kamu ngapain Rio?"

"Aku udah 4 tahun lebih naik turun gedung ini"

"Dan kamu merasa gedung ini sangat berarti?"

"Iya, banyak hal terjadi disini, gedung ini menyaksikan itu semua"

"Itu semua? "

"Kamu lihat lantai paling atas itu, aku suka pemandangan pagi disitu"

"Kenangan tentang sesuatu ya?"

"Mmm iya, sesuatu yang masih aku ingat dan ingin aku lupakan"

"Tentang seseorang yang memiliki sebagian masa lalumu?"

 "Kurang lebih seperti itu. Menurutmu... manakah yang lebih penting, masa lalu atau masa depan?"

"Keduanya... tapi kita harus selalu memilih mana yang akan kita jalani..."



Sedikit banyak Rio akhirnya mengerti bahwa masa lalu sudah berlalu, dan masa depan sedang menunggu untuk dijalani, masa yang belum dia ketahui akan berjalan seperti apa. Masa lalu dan masa depan dipertemukan oleh masa kini, masa dimana keputus asaan lama diakhiri dan tempat dimana harapan baru muncul, lewat berbagai cara.

Dan kali ini sepertinya harapan itu dibawa oleh seseorang, dan lewat dia (sepertinya) langkah baru akan dimulai.



"... Seperti apa masa lalu itu? aku ingin sedikit melihat"

"Aku sudah melupakan semuanya, awal dan semua isinya"

"Karena?"

"Karena semuanya sudah selesai, dan yang baru sudah siap dimulai" katanya sambil tersenyum ke perempuan itu.


Digandenganya tangan masa depan itu ke arah matahari, jika harus melupakan pagi dia akan melakukannya, tapi percuma karena besok pagi juga akan menyapa kembali, lebih baik seperti ini, dimana pagi tetap menemani, tapi bukan untuk mengenang masa lalu, tapi berjalan kedepan... dan terus kedepan.



**TAMAT**


Fajar di Pelupuk Rindu #5







Malang, 18 April 2010         06:30 AM
Sepanjang jalan Semeru masih berembun, cahaya matahari mengintip dari balik rimbun dedaunan di sepanjang jalan yang masih dingin. Terlihat sekelompok pria lanjut usia melintas dengan sepedanya masing-masing, usia mereka mungkin sekitar kepala lima namun masih terlihat bugar, mereka berhenti di salah satu sudut jalan, beberapa mengambil botol minum dan menenggaknya, beberapa mengelap peluh, terlihat beberapa orang lagi bergabung dengan kelompok itu, beberapa menit kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan, dengan sangat bersemangat.

Di sudut jalan yang lain para pedagang sudah bersiap menggelar lapak di pasar minggu, ya.. pasar yang hanya ada setiap minggu pagi, tempat warga Malang yang bisa bangun pagi di libur itu pergi, untuk sekedar mencari sarapan, menggandeng pasangan, atau bersama keluarga mengahabiskan akhir pekan. Selain pedagang yang menjual aneka jajanan, peralatan rumah tangga hingga obat oles serba guna ada pula Mas-mas berbaju ngejreng dari komunitas seni dari salah satu Universitas Negeri di Malang, mereka bermain alat musik, menyanyi, menari, berpantomim, sampai beratraksi dengan peralatan seadanya.

Jalan Semeru, belok kiri, 100 meter dari situ ada stadion yang merupakan markas salah satu tim sepakbola milik pemerintah Kota, di sampingnya terbentang arena olahraga untuk umum, tampak ramai walau sepagi itu, kalo sore hari akan lebih ramai lagi. Bila pagi itu hanya terlihat beberapa anak berseragam, bila sore akan hadir pemandangan mulai bocah-bocah yang menendang bola plastik sampai ibu-ibu muda, mereka berkelompok, memutar musik aerobik lalu mulai bersenam, dengan cantik.

Malang, kota yang menyimpan banyak kenangan untuk banyak orang, kenangan tentang pertemuan yang awalnya malu-malu namun akhirnya sama-sama mau, kenangan tentang jalanan sepi yang dilintasi senyum sepasang muda-mudi, kenangan tentang sebuah penantian yang akhirnya berujung manis, dan tentang sebuah pertemuan yang  akhirnya pantas untuk direlakan karena harus menemui perpisahan.

Kampus, mal, taman kota, masjid raya, gelanggang olahraga, pasar, terminal, stasiun, toko helm, kolam ikan, tambal ban. Pertemuan terjadi dimana saja, kapan saja, siang atau malam, hujan atau panas, disengaja maupun tidak disengaja. Dan sebuah perpisahan pun juga begitu, bisa terjadi kapan saja dan dimanapun dia hendak hadir...

Tapi tidak selalu yang menemukan akan memisahkan, seperti halnya yang ditemukan akan dipisahkan...

Semalam, Dita, sahabat Ajeng menelefon Rio, dering telefon genggamnya diikuti perasaan was-was, dan telefon itu ditutup dengan perasaan kecewa, yang dulu menemukan kini akhirnya... dipisahkan. Hidupnya berjalan baik-baik saja sebelum kehadiran seorang wanita dimana hatinya tertambat itu, dan kini perpisahan membuat pertemuan akhirnya pantas direlakan.


"Ajeng titip salam buat kamu, dia bilang makasih atas semuanya, dia ga nyesel sama sekali ketemu sama kau Yo. Dia sekarang bahagia dengan cinta lamanya yang akhirnya kembali, udah Yo seperti kata Ajeng, kamu bakal baik-baik aja tanpanya"


"Makasih Dit, met malem.."


Pagi itu, di sebuah kamar berdinding biru, cahaya mentari pagi halus menyelinap ke tatapan kosong Rio, cahaya pagi yang tadi menyapa pepohonan jalan Semeru, dan mungkin cahaya yang sama dengan sebuah pagi dimana mereka dipertemukan, yang sampai detik ini masih tersimpan rapi dalam ingatan.

Yang ditemukan, akhirnya pergi, menghadirkan perpisahan yang terasa dingin. Meninggalkan seseorang dalam sendiri, seseorang yang masih berharap semua akan kembali dan menolak pertemuan baru. Sebuah hati yang sepertinya telah nyaman, dan sebuah rasa yang ingin sekali secara langsung diungkapkan.

Fajar di Pelupuk Rindu #4



Assalamualaikum wr. wb.


Hai Ajeng, semoga kabarmu baik-baik saja disana apakah kamu sehat? kala mengetik ini aku berharap setelahnya kau akan  menyimpulkan senyum manis dibibirmu tanda bahwa selain kamu sehat kamu juga tidak sedang sedih karena kamu tahu kan kalo kamu sedih seringkali aku juga merasa sedih, bercampur bingung.


Aku disini baik, aku rajin makan sayur sesuai keinginan kamu, juga mengurangi rokok. Ngomong-ngomong aku tadi baru dari ruangan Pak Zein, dan kabar baiknya aku bisa ikut KKN bulan Mei nanti, semua atas dukungan dan bantuan dari kamu, aku inget kamu sampe pergi dan pinjem buku karangan Prof. Dr. Saleh Arif ke perpustakaan Kota buat melengkapi bahan tugas Ekonomi Makro ku, makasih ya Mbem :')


Beberapa hari ini aku mencoba menghubungimu via SMS, Telefon, Message Facebook, sampai Pesan Pribadi di twitter, tapi tidak satupun terbalas, ada apa Jeng? ceritakan padaku, aku akan mendengarnya, bukankah tiap ada masalah aku juga cerita ke kamu, apa ada anggota keluargamu yang sakit? kudengar papamu punya darah tinggi, apa kamu punya kesibukan disana? apa ibumu menikahkanmu dengan dokter muda anak dari temannya itu? maaf aku jadi cerewet,  aku tak habis pikir apa yang terjadi karena sebelum kita loss contact malamnya kamu dan aku masih membahas Analisis Marketing sambil bercanda.


Apa ada yang mengganggumu dan itu ada kaitannya dengan hubungan kita? aku bilang hubungan kita karena aku tidak merasa kamu menganggapku sekedar teman, dan aku... aku menganggapmu lebih-lebih dari sekedar teman Jeng, iya, aku suka kamu, aku sayang kamu, dan sekarang kamu tahu kan.


Terserah kalo ada yang bilang aku cemen karena mengungkapkan perasaan lewat email, tapi kalo aku boleh memilih aku akan mengungkapkannya langsung dari bibirku, kupegang erat jemarimu lalu akan kubisikkan pelan-pelan, akan kulakukan bila aku bisa, iya kalo aja aku bisa Jeng. Tapi sekarang saja aku tak tahu kemana kamu pergi, aku ingin menunggu kamu kembali, dan menyatakan semua ini, tapi kapan? aku takut semua terlambat, maka menurutku lebih baik bila kamu tahu, dan aku bisa lega bisa menyatakan perasaanku.


Boleh agak lebai kan? kalo boleh plis jawab suratku ini, aku tahu kamu menerimanya, aku tahu setiap minggu kamu mengirim sebuah jurnal ekonomi lewat email ini kan. Jawab lewat apa saja, disini boleh, SMS juga bisa, apapun itu sampaikan kabarmu padaku, agar tak ada lagi curiga menyiksa, agak tak perlu rindu menyudutkanku, agar terbayang lagi senyum dan tawamu dalam benakku.


Dalam kepungan hapar dan cemas,


Haryo Pramudito

Fajar di Pelupuk Rindu #3



Agak resah, berkali-kali dilirik ponselnya, belum ada kedip lampu merah, belum ada SMS dari si Tembem. Rio lalu kembali fokus dengan layar monitor, sedang dihadapinya tugas tentang Analisis Marketing, semalam dia mengirim pesan singkat ke Ajeng untuk menanyakan perihal tugasnya, seperti biasa obrolan tentang tugas itu akhirnya berkembang menjadi saling ejek dan saling goda, dan bagi Rio hal itu benar-benar lebih mengasyikkan dibanding harus berhadapan dengan barisan huruf dan angka, dan obrolan mereka soal tugas Analisis Manajemen semalam belum ditutup dengan ucapan selamat tidur.

Kini, baginya Ajeng adalah hal yang penting atau sangat penting tepatnya, lebih dari hobi, teman, atau kuliah dan semakin penting seiring bunga-bunga cintanya yang semakin mekar. Diingatnya percakapan dengan Bayu kemaren di kampus, Bayu adalah sahabat baik Rio, mereka sangat dekat, bahkan sebelum Bayu punya pacar anak-anak kampus berpikir mereka adalah pasangan homoseksual.

"Biarin berjalan secara alami sob, kalo dia mau jadian sama kamu tanpa acara tembak-tembakan  pun pasti nanti semua orang akan tau kok"

Kata-kata Bayu kemaren sore terus terngiang di telinganya, itu adalah penyebab kebimbangannya seharian ini. Sudah sebulan lebih umur kedekatannya dengan Ajeng, mereka berdua sering dicie-ciein dan Ajeng kelihatan nyaman dengan itu, mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Yakin Bay ga perlu nembak? si Ajeng tuh banyak yang naksir tauk!"

"Iyaa, jalani aja ntar dia pasti kasih tanda kok, tunggu aja deh"

"Tanda gimana, kalo dia ditembak cowok lain terus diterima, gondrong dong! lagian kita udah deket banget Bay"

"Hahaha kalo gondrong bisa creambath dong, udah deh, dibilangin kok ngeyel. Emang yakin gitu diterima?"

"Yakin! eh, mmm agak ragu sih"

"Lah gimana sih, emang kenapa ragu?"

"Dia masih suka curhat soal mantannya, masih belum move on 100% gitu, aku khawatirnya itu aja sih"

"Sob, biarin semuanya ngalir, kalo dia sayang sama kamu hubungan kalian akan semakin intens dan berkembang, kalo dia masih belum move on atau malah nerima cowok lain itu tandanya dia ga pantes kamu pacarin, simpel kan "

Setelah mengklik tombol shutdown dia berbaring di kasur sambil memandangi langit-langit kamar kosnya yang terlihat usang, rasa bimbang memenuhi seluruh ruangan dan masuk ke dadanya lewat tiap hela nafas. Dilirik ponselnya, belum ada balasan, "mungkin lagi gak ada pulsa, apa harus ditelefon? ah tidak sepertinya dia lagi sibuk, atau... atau lagi males bales sms, ah ga mungkin, atau lagi smsan sama cowok lain, atau.. ah!" batinnya berkecamuk, rasa lelah mendadak datang menyelimuti, tanpa sadar semilir angin menidurkannya, bukan, mungkin kebimbangan membuatnya lelah dan terlelap.

Pukul 5 sore, dia terbangun dengan lesu, hal pertama yang dia lakukan: mengecek ponselnya, ada satu SMS masuk! ah.. itu dari teman sekelasnya, menanyakan tugas pula.

Berjalan gontai Rio menuju jendela, dilemparkannya pandangan jauh jauh ke langit senja, mungkin itu bisa sedikit menghibur, dia masih berpikir soal ucapan Bayu dan menunggu sms dari Ajeng, tidak sedikitpun Analisis Manajemen terlintas di kepalanya.

Senja datang, diantar oleh siang yang tampak lesu setelah seharian berjalan dengan teriknya sang surya, dari jauh terlihat malam mulai hadir mengendap, bersiap memeluk dunia dan isinya di dalam gelap...

Fajar di Pelupuk Rindu #2






Dilirik kotak makan Ajeng, 2 butir kentang rebus, kacang-kacangan berwarna merah tua, potongan selada dan jamur, di sebelahnya tampak sebotol air mineral yang masih utuh.

"Masih diet? udah kurus gitu juga"

"Bukaaaan Rio, aku cuma pengen hidup sehat aja tau"

"Itu merah-merah apa? kacang ya, iya sih ayam emang keliatan sehat banget soalnya suka makan kacang-kacangan kayak kamu hehehe.. "

"Enak aja", bibirnya cemberut,tangan mungil Ajeng dengan lembut mencubit lengan Rio

Itu hal yang tak pernah bosan dialaminya, makan siang di beranda kampus. Dulu boro-boro bawa makanan dari kos, makan di beranda kampus aja males, kabarnya itu tempat anak-anak cupu ngumpul, dan daerah rawan dicie-ciein, tapi kini dengan keberadaan Ajeng, tempat itu bagai rumah sendiri buat Rio.

"Eh, ntar sore jadi nemenin aku ke pameran buku kan?"

"Iya jadi lah, jam 5 kan?"

"Yup!"

"Eh Jeng, lama ga sih ntar disananya? kalo dilanjut nonton seru nih, ada banyak film baru... Madagascar 3, Prometheus, Abraham Lincoln, terus.. "

"Bentar, Abe Lincoln? itu bukannya nama Presiden Amrik ke-16 yah? serius itu jadi judul film"

"Oh, mmm... pas baca sinopsis kemaren sih keliatannya bagus, dia jadi pemburu vampir gitu"

Rio terkejut lalau merasa kagum, dia bahkan tidak tahu bahwa Abraham Lincoln adalah mantan Presiden Amerika, beberapa hari yang lalu dia masih berpikir bahwa tulisan judul filmnya adalah "Abram Linkong" TOEFL nya yang hanya 65 membuat itu harus dimaklumi. Ajeng, perempuan rupawan yang dekat dengannya nyaris sebulan terakhir, anak Manajemen berprestasi akademis A dan tahu bahwa itu cerita tentang Presiden Negeri Paman Sam ke-16.

Teringat beberapa hari yang lalu Ajeng membantunya menyelesaikan tugas Ekonomi Mikro, agak lucu bagaimana senior dibantu oleh adik tingkat untuk menyelesaikan tugas. Ajeng begitu baik padanya, dikos Rio masih ada beberapa bungkus makanan yang dibawakan oleh Ajeng, di ponselnya tersimpan canda dan tawa dalam pesan-pesan singkat dari "Tembem", begitulah Rio menamai kontak Ajeng di ponselnya, biar kedengeran imut mungkin, benih ketertarikan yang disiramnya dengan guyuran rasa kagum terus berkembang menjadi tunas-tunas kecil cinta dalam hati, perasaan ingin memilikinya bak gayung bersambut sore itu.

"Udah tayang sekitar 5 hari, jadi kalo kita mau nonton ga begitu antri kayaknya"

"Ide bagus, tapi jangan terlalu malem ya, ga enak sama mbak kos aku nih, tau kan mereka suka rese gitu"

Ajeng pamit untuk kembali masuk kelas, Rio tetap duduk disana tanpa perasaan peduli akan dianggap anak cupu,  dia sering suka namun sepertinya baru kali ini jatuh cinta, perasaan bahagia menyeruak dalam hatinya, senyum dan lambaian tangan memisahkan dua orang muda mudi itu. Masih terus diamati Ajeng, sampai bayangannya menghilang di ujung koridor


"Sampai nanti sore.. cantik.."

Ucapnya lirih, dalam hati.

Fajar di Pelupuk Rindu


Gedung Kuliah Bersama masih sepi, secara itu masih jam setengah 7 pagi…

Rio, 20 tahun, mahasiswa tingkat dua di salah satu Universitas Swasta di Malang, bukan tipe yang rajin masuk pagi, pemandangan aneh adalah saat dia sudah berada di kampus sepagi itu, untuk ikut kelas susulan dengan anak angkatan bawah. Matanya masih sayup, dandanannya rapi, kemeja biru muda dan jins cokelat itu terlihat padu, dipundaknya menggantung sebuah tas yang tampak agak kosong, mungkin isinya cuma sebuah buku dan pulpen.
Dilihatnya sekeliling, baru ada beberapa mahasiswa yang datang, wajahnya tampak datar beberapa menit, dan mendadak sumringah, sambil berdiri dia merapikan baju, perlahan dia mendekati pintu lift

“Anak muda yang rajin, jam segini udah dateng aja”

Sedikit modus yang basi dari Rio, ya pagi itu adalah sebagian upayanya untuk mendekati Ajeng, adik tingkatnya di Fakultas Ekonomi. Ajeng cukup favorit di kampus, cantik dan pintar, kabarnya dia lebih milih masuk Manajemen dari pada Kedokteran walaupun sebenernya diterima disana.

“Anak tua rajin juga, tumben balik clubing udah wangi”

“Weee enak aja, aku ikut kelas tambahan Pak Zein, enak ga sih diajar tuh orang? deg-degan nih, kalo ga lulus lagi kan ga bisa KKN aku “

“Mmmm enak aja sih, eh ngomong-ngomong kok liftnya lama ya?”


……


10 menit kemudian mereka terlihat duduk di sebuah kursi di lantai 6, Rio memandang Ajeng yang masih terengah-engah, sebagai cowok normal pikirannya sedikit kemana-mana hingga akhirnya suara Ajeng membuyarkan fantasinya

“Pake mati segala tuh lift, capek”

“Iya payah banget! gempor nih kaki”

Dibalik nada kesal Rio tersimpan kebahagiaan, meniti tangga demi tangga sampai ke lantai puncak bersama pujaan hati, batinnya mulai berpuisi, itu hari terindahnya bulan ini.
Kelas dimulai, cahaya matahari pagi merasuk lewat celah-celah jendela, dan cahaya senyum Ajeng masuk melewati celah-celah hatinya…

Diberdayakan oleh Blogger.