"Jadi Kau akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menulis happy ending story?"
"Yup!"
"Yup? untuk menyerahnya atau untuk menulis happy ending story nya?"
"Mmm... begini, aku tak pernah merencanakan sebelumnya seperti apa ending dari setiap cerita yang kutulis, jadi kebetulan saja endingnya happy atau tidak"
"Dan anehnya kebanyakan jadi sad ending, lalu itu terjadi di kehidupanmu kan?"
"Hahaha ayolah, jangan mulai"
"Iya kan? coba ingat-ingat"
Dua hari lalu aku sepakat dengan Nova untuk berpisah baik-baik tepat 6 bulan 2 hari setelah kami jadian, alasannya? tentu ada, mana ada putus yang terjadi tiba-tiba, salah satu atau kedua belah pihak pasti pernah memikirkan itu sebelumnya hingga akhirnya salah satu mampu mengucapkan, dengan berbagai macam cara.
Kemarin lusa Nova mengungkapkan itu dengan sangat baik, sebenarnya tanda-tandanya sudah kurasakan beberapa minggu sebelumnya dan akhirnya semuanya terjadi. Aku hanya mengiyakan, mau bagaimana lagi pikirku, aku bukan tipe orang yang mengemis dan merendah untuk sebuah hubungan. Prinsip dan egoku masih cukup besar untuk tidak melakukan itu.
Kadang bila diingat sedih juga, dan aku tahu persis Nova tak kalah sedihnya karena dia meninggalkanku bukan karena ada orang lain, dan sepertinya dia benar, ini untuk kebaikanku. Ada yang bilang yang diputusin biasanya lebih cepet move on, sepertinya benar juga,walau aku berharap Tuhan segera membalikkan hati masing-masing dari kami, agar tak ada yang merasa disakiti.
"Mungkin..."
Posted by Unknown
Sabtu 15 September 2010 | 07:00 PM
Titik air masih membasahi jendela sebuah kamar kos di sebuah gang sempit di daerah Ciumbeuleuit, terlihat di dalamnya seorang muda-mudi yang sedang duduk berdua, si perempuan beberapa terlihat bolak-balik keluar masuk ruangan sederhana dengan cat pink itu, si laki-laki yang tadi terlihat mengeringkan badan dengan handuk kini sudah duduk rapi dengan selimut hangat yang membalut tubuhnya, secangkir kopi dan secangkir teh duduk bersanding menemani mereka berdua bersama beberapa keping biskuit gandum kering.
Diluar hujan kembali deras, beberapa orang percaya bahwa beberapa cinta turun saat hujan, entah itu karena dingin sehingga sangat menyenangkan bila ada seseorang untuk dipeluk atau karena suasana yang romantis.
Sekarang, kepala perempuan itu kini sudah berada di pundak si lelaki yang nampak seperti kekasihnya itu, kekasih? iya, apa yang mereka lakukan tidak seperti dua orang teman biasa yang sedang menunggu hujan reda atau bapak yang senang mendongengi anak perempuannya.
Dari jendela ini seperti potongan drama korea dimana kedua pemerannya akan saling memandang satu sama lain, kemudian saling memegang tangan dan memagutkan bibir atau intro dari sebuah film semi-porno latin dimana si perempuan akan masuk dalam selimut si lelaki lalu beberapa menit kemudian terdengar suara desahan yang lembut dari seorang wanita yang rambutnya acak-acakan.
"Handphone kamu ada BBM tuh"
"Biarin aja"
"Pasti dari dia kan"
"Udah sih yang penting kan sekarang aku sama kamu"
"Sampai kapan? adil gitu kayak gini buat aku?"
"Jadi kamu lebih butuh status daripada perhatian aku gitu maksudnya?"
Suasana hening, suara nafas mereka tertelan berisiknya guyuran hujan, mereka saling memandang satu sama lain sambil tetap membisu.
"Jadi buat kamu status lebih penting?" suara lelaki itu agak meninggi.
Kali ini keheningan berlangsung lebih lama, tak satupun kata yang keluar dari bibir mungil perempuan itu, matanya berkaca-kaca, itu sudah cukup menggambarkan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, wajahnya ditekuk sejadi-jadinya, bibirnya bergetar antara akan berkata atau memilih terus diam.
Dan air matanya tumpah, dipeluknya erat-erat lelaki itu seolah tak mau dilepasnya lagi, tak mau kehilangan, tak rela jika ada perempuan lain yang merasakan pelukan itu.
"Aku sayang kamu Indra" ucapnya sambil terisak
"Aku juga Shara, aku juga sayang kamu, kamu harus percaya"
"He em.."
"Akan tiba waktunya semua ini akan diperjelas, tapi please bersabarlah.. mungkin aku ga bisa membuat kamu jadi satu-satunya tapi percayalah, kamu yang nomor satu dihatiku"
"Iya?"
"I swear"
Indra dan Shara, bibir keduanya kini bertemu dalam sebuah pagutan mesra yang memanas seiring deruan nafas yang setengah tersengal, dada bertemu dada, telapak tangan si lelaki membelai mesra pinggul si perempuan sementara yang satu terus memegang kepala Indra setenga menjambak rambutnya.
*
Hujan mereda, tepat pukul 11 malam lewat 7 menit.
"Hati-hati Indra"
"Iya, senyum dong senyum"
"Ga mau kamu jahat" katanya sambil merengut
"Hahahaha, dah Shara.. aku tadi tulis puisi buat kamu di kertas hijau, baca yah"
"Dah Indraaa.."
Kamu yang sedari tadi duduk di beranda hati
Kenapa kamu tak masuk kedalam
Mungkin terlalu sempit untuk bertiga
Tapi dia sebentar lagi mungkin pergi
Dia datang dari sore yang sepi
Sambil membawa secangkir sunyi
Salahkah aku menoleh padamu
Yang kupikir hadir dari sela pelangi
Kamu yang sedari tadi duduk di beranda hati
Bila tak bersedia masuk
Ini tanganku, mari kita pergi ke padang luas
Kenapa saling mencinta dalam sempit yang dilahirkan jarak
Dilipat rapi kertas hijau itu sambil tersenyum lalu bersama gelap dia terlelap
Posted by Unknown
Bukan engkau
"Kamu barusan nyanyi lagu apa Wir?"
"Tuh kan ini anak maen muncul aja, dasar nakal "
"Hihihi jangan sewot dong" katanya sambil mengikat tali sepatunya "Ayo kita berangkat"
"Yuk!"
Hujan yang mengguyur kota Malang sejak sore tadi masih menyisakan gerimis, langit senja ini masih sama dengan langit dimana pertama kali aku bertemu dengannya. Aku dan Zizi menyusuri dinding-dinding basah menuju sebuah Mall berjalan kaki saja, bagi kami ini pilihan terbaik dimana kami bisa menghabiskan waktu untuk berbincang tentang banyak sekali hal.
"Aaaah aku ga sabar buat ketawa-ketawa nanti"
"Jangan gila please, kita bukan lagi mau nonton di ruang tamu rumahmu"
"Biarin lah, dan itu nanti, itu nanti Johny Englishnya pasti mirip kamu" katanya sambil menirukan salah satu gerakan linglung Mr. Bean.
"Nanti asik kali ya kalo kita bikin film bareng, film tentang kita gitu"
"Atau novel"
"Lagu juga boleh"
"Wiraaa kita berdua kan sama-sama ga bisa nyanyi, gimana kalo cerpen?"
"Mmm nice idea, tandem nih kita?"
Dia hanya tersenyum lalu menarik lengan bajuku, kami berlari-lari kecil menuju pintu masuk, aroma Espresso la Crème khas Baker's King menyambut kehadiran kami. Lantai 4 selalu ramai seperti biasanya, beranda 21 Matos juga sudah lumayan sesak, kebanyakan berpasang-pasangan secara wajar, laki-laki dan perempuan.
Bilakah engkau mengerti
Semua yg ada di hatiku ini
Ku hanya ingin dekatmu
Namun kau selalu menyadarkan aku
Bukan engkau
*
"Aku akan balik ke Malang lagi kok, 6 bulan itu gak lama Zizi"
"Menurut aku itu lama!"
""Oke, nanti aku akan ambil libur untuk mengunjungimu di Malang, atau kamu bisa kesini waktu libur UAS, kita jalan-jalan disini"
"Nggak Wir.."
"Nggak gimana?"
"Lebih baik kalo kita temenan aja"
Aku ingin langsung menjawab pernyataan itu, menolaknya mentah-mentah dengan semua egoku, kami benar-benar nyaman menjalani semua dan kepergianku ke Bandung pun hanya sementara, itu pikirku. Aku tak pernah berpikir ada orang lain dihatinya, seperti halnya aku menjadikannya satu-satunya dihatiku
Diujung telefon sebelah sana keheningan menelan perempuan cantik itu dalam sepi, tak satu katapun terucap, hanya terdengar beberapa hela nafas yang agak tersengal.
"Kamu tahu saat keputusan ini diambil kita tak mungkin lagi mengulang semua?"
"Iya, aku tahu "
Kau yg selalu bilang, selalu bilang
Tuk tetap aku di sini
Takkan berarti
Pembicaraan terakhir kami, hanya lewat udara, dan ditutup tanpa senyum dan sapa.
*
"8 lah dari skala 10"
"Iya, tapi kasian si Johny Englishnya"
"Ya, kita gak selalu bisa menjadi orang yang kita inginkan Zizi"
"Iya gitu?"
"Iya, seperti kata kamu, kita gak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan..."
"Begitupun dengan pasangan" potongnya "Tapi aku sekarang sedang bersama orang yang aku ingin dan butuhkan"
"Really! dan kamu bahagia?"
"Iya"
Kepalanya bersandar dibahuku, hujan kembali turun, kini membasahi lampu Kota di sepanjang jalan Veteran, dan dijalan itu, pertama kami bertemu.
(set full volume to Dimana Aku Disini - Naif)
Bahwa yg kau bilang, yg kau bilang
Kita saling memiliki
Dimana aku di sini
Dimana aku di sini
Dimana aku di sini
-----------------------------------------------------------------------------------
Inspired by Dimana Aku Disini - Naif
Mengenang momen 16 Oktober 2011 dan 3 bulan dibelakangnya
Posted by Unknown
Yang Wisnu ingat saat itu dia kelas 2 SD dan salah satu kakak sepupunya membawakan sebuah buku bergambar, itu oleh-oleh untuknya dari salah satu tamunya yang asli Jepang, kakak sepupunya yang itu baru setahun lalu resign dari pekerjaannya sebagai tour guide di salah satu perusahaan biro pariwisata di Bali. Yang paling dia ingat selain halaman-halamannya yang di dominasi warna biru langit (warna favoritnya), di salah satu bab nya, di bagian mencocokkan gambar ada petunjuk seperti ini
"Dengan sepasang benda ini manusia bisa melihat indahnya dunia"
Dilihatnya baik-baik gambar pemandangan di halaman itu, agak sukar memilih benda mana yang kira-kira paling cocok dengan petunjuk itu, sepatu? ah, meski sepasang mana bisa sepatu dipakai melihat, kaos kaki? tak mungkin juga, sapi? manusia normal mana yang melihat dengan sepasang sapi. Setengah menyerah dibawanya buku bergambar itu ke meja ibunya, dan oleh ibunya ditunjukkan sebuah gambar, gambar sepasang mata yang agak tersembunyi, "dengan sepasang jendela dunia ini kita bisa melihat indahnya kehidupan" katanya pelan, Wisnu terdiam.. meresapi kata-kata itu.. jendela dunia..
***
13 tahun kemudian, di sebuah Mall di Kota Bandung
"Terus udah ketemu lagi sekarang?"
"Belum, mungkin buat lu ini seperti dongeng tapi firasat gue bilang kalo gue bakal ketemu dia di jendela ketiga"
"Mungkin lu kudu masang CCTV di setiap tempat yang memungkinkan dia muncul hahaha"
"Ayolah, gue serius nih"
"Lho, pertama lu ngelihat dia di jendela coffee shop lalu kedua lewat jendela butik, siapa tahu yang ketiga dia akan muncul di jendela salon atau bahkan minimarket, iya kan"
"Bener juga sih, amin deh, by the way liat cewek arah jam 2, blus merah jambu"
"Oh yang itu, kenapa?"
"Gadis yang gue lihat hampir sama dengan dia, namun masih lebih"
"Lebih? lebih cantik maksudmu?"
Diceritakannya pada Wira mulai awal hingga akhir perempuan yang ia lihat lewat jendela di sebuah coffee shop minggu lalu saat Wisnu bertemu salah satu teman dari Jakarta, dan dideskripsikan selengkap-lengkapnya saat dia melihatnya untuk kedua kalinya di jendela sebuah butik yang menjadi langganan mantan pacarnya dulu, bagaimana perempuan sempat membalas lirikannya sedikit, dan saat mata mereka bertemu walau hanya hitungan detik, bagaimana dia tersenyum manis, tubuhnya yang semampai, rambutnya yang agak kemerahan, dan dress biru langit yang membalut tubuhnya, dan terutama betapa ingin dan yakinnya Wisnu bahwa mereka akan bertemu kembali.
"Oke, gue bantu do'a deh, good luck!"
"Thanks!"
***
Hujan mengguyur Bandung sejak pagi tadi, sore jadi tampak lebih gelap, jam menunjukkan pukul 15:15, kata orang saat kita melihat jam dan menunjukkan angka kembar itu tanda kita sedang rindu pada seseorang, dan sore itu Wisnu rindu kepada sosok yang bahkan belum dia kenal sama sekali dan belum sekalipun bicara padanya dan kangennya mungkin sudah pada tingkat "kangen banget" terakhir dia melihat jam tadi juga pukul 13:13. Harap maklum, kelebaian sering menjangkit kepada orang-orang yang sedang kangen.
Hari itu Wisnu memenuhi janji dengan seorang klien baru, semalam dia menerima email dari sebuah toko online yang mengaku bergerak di bidang fashion, toko itu memintanya untuk menjadi konsultan sosial media mereka, dari namanya yang girlish tampaknya toko itu menjual sesuatu untuk wanita, dan mungkin yang akan ditemuinya juga ibu-ibu cerewet yang akan mengintervensi pekerjaannya, lalu kemudian menawar fee nya serendah mungkin, sigh!, Setelah memesan secangkir Hot Chocolate Wismu menyalakan laptopnya, dia sengaja memilih duduk tak jauh dari jendela, siapa tahu perempuan itu muncul lagi dan langsung bisa dikejarnya untuk berkenalan. Dikirimnya pesan singkat kepada calon klien itu, "Saya duduk di meja 7 Bu, pakai kemeja kotak-kotak warna merah tua", SEND.
Suasana tetap dingin, sudah 15 menit dia menunggu, dilihatnya cangkir coklat yang sudah kosong. Diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang berinterior klasik itu, ada beberapa pasangan di meja sebelah luar, nampak sangat romantis, menghirup kopi bersama dikala hujan gerimis. Kembali dimainkan laptopnya, sambil terus menunggu, hatinya mulai dongkol, SMS nya belum juga dibalas oleh calon klien itu, dan sudah setengah jam dia menunggu.
"Mas Wisnu ya?"
Sebuah suara dari arah belakang, setengah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu, perempuan dibalik jendela, yang diceritakannya pada Wira kemarin malam sedang mengulurkan tangan padanya.
"Saya Alya dari Almira Shop, aduh maaf telat, susah banget cari Taxi hujan-hujan gini"
"Oh iya iya, duduk silahkan duduk" ujarnya terbata-bata
Obrolan yang awalnya kaku sekaku-kakunya itu akhirnya mencair, keramahan dari gadis cantik bernama Alya itu berhasil mengikis kegugupannya, kegugupan yang muncul diantara rasa setengah tidak percaya, masih tidak percaya itu adalah gadis dibalik jendela itu. Rambut kemerahan, senyum manis, wajah cantik itu, masih persis seperti beberapa hari lalu, masih terasa sangat cantik, hanya saja kali ini lebih dekat.
Alya akhirnya pamit untuk pulang, mereka janji untuk bertemu lagi lusa, masih untuk urusan pekerjaan memang, tapi tidak lagi antara profesional dan kliennya, namun antara teman dengan teman, atau antara gadis idaman dan pria yang mengaguminya.
"Halo Wir, Wir lu dimana?"
"Dikosan, kenapa Wis? bahagia banget kayaknya"
"Cewek itu Wir, gue ketemu lagi sama dia"
"Oh, di jendela mana?"
"Iya, di jendela.. jendela dunia"
Ingatannya terlempar ke 13 tahun yang lalu, ke buku gambar dengan halaman biru langit itu, benar kata ibunya, lewat sepasang mata ini manusia akan melihat indahnya dunia.
Posted by Unknown
Hujan gerimis membasahi beranda sebuah kedai kopi bercat hijau-coklat di sekitar Kota Lama, Malang. Kedai kopi sederhana itu menghadap ke Barat. Maka bila sore hari kadang sinar matahari sering masuk dan menyilaukan pengunjung yang duduk di bagian depan. Mungkin karena itulah kedai kopi itu dinamai "Silau Senja". Silau Senja menyimpan banyak kisah sejak dibangun pada tahun 1992. Tanggal 14 Februari, tepat dengan perayaan hari Valentine. Dan sore itu sebuah kisah baru terukir disana.
Nama lengkapnya Mahardika Wisnu Pratama. Di kampus semuanya memanggil Wisnu. Kini dia duduk di salah satu sudut Silau Senja, hanya diam dari tadi sambil memandangi selembar foto. Sejenak dia menghela nafas, seperti hendak menitipkan beban yang dirasakannya kepada angin semilir yang kebetulan lewat.
*
"Kamu pasti bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku Wisnu"
"Tapi Win..."
"Wisnu kamu inget kan dulu saat awal tahun, aku hanya ordinary people buat kamu" sejenak perempuan itu mengalihkan pandangan dari Wisnu, matanya tampak nanar "Kamu cukup baik untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku" lanjutnya.
"Nggak Win, kita bisa melewati semua ini bersama. Kamu percaya kan?"
"Wis, sudahlah. Kalo kita berjodoh Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali"
"Kamu yakin?"
Perempuan itu dengan segera bangkit dari tempat duduknya, meraih tas abu-abu yang ada di meja kemudian pergi berlalu begitu saja. Satu hal, dia tampak tak ragu.
*
Diusapnya pelan foto yang sedari tadi ada di tangannya. Sesosok pria dan wanita yang bersanding mesra disitu. Kini si pria sedang menunduk lesu, si perempuan telah berlalu meninggalkanya beberapa menit yang lalu. Gelas Green Tea Float yang dipesannya bahkan belum diangkat oleh pelayan. Semua berjalan begitu cepat. Terlihat jelas Wisnu belum cukup siap untuk semua itu.
"Sudah selesai?" tiba-tiba terdengar suara sesosok laki-laki dari arah belakang.
Wisnu hanya sedikit melirik, tidak menjawab pertanyaan pria itu.
"Sudah selesai?" laki-laki dengan hoodie merah tua itu mengulang pertanyaannya. Kini Ia duduk berhadapan dengan Wisnu.
Wisnu hanya terdiam, menunduk lesu "Iya, sudah"
"Lalu bagaimana?"
"Aku butuh waktu"
"Apa! lagi?"
"Iya, ini yang terakhir kali, percayalah. Aku tak akan meminta waktu lagi"
"Oke, kali ini apa rencananya"
"Kita lihat saja!" Wisnu bangkit dari duduknya. Berhenti sejenak, kemudian merobek foto yang sudah dilihatnya bermenit-menit yang lalu, meninggalkannya begitu saja di atas meja. Tatapan matanya kosong. Kakinya mulai melangkah meninggalkan barisan meja Silau Senja. Lelaki berhoodie merah ikut berdiri dan mengekor di belakang Wisnu. Di bibirnya tampak segaris senyum, entah berarti apa.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berlanjut dalam seri "Perkara Mengirim Senja #2"
Judul diambil dari novel karya @Monstreza "Perkara Mengirim Senja
Posted by Unknown
Masih tetap tentang pagi dimana fajar selalu datang dengan harapan baru, pagi itupun harapan-harapan baru tersirat dari wajah-wajah bahagia, ratusan mahasiswa bertoga memenuhi halaman parkir UMM Dome, sebenarnya ini juga tentang akhir perjalanan panjang, dan awal perjalanan panjang yang baru.
Perjalanan yang diawali dengan satu langkah awal, kemudian disusul langkah-langkah kecil maupun besar sambil sesekali dihiasi lompatan dan jalan mundur. Diwarnai dengan jatuh dan bangun,, senyum dan tangis, kini sampai pada sebuah batas.
Sebuah batas antara dunia kini dan masa depan, dimana harapan maupun keputus asaan baru mulai dirajut, dimana perenungan mulai terlihat sayup-sayup.
Perenungan tentang beberapa bulan yang telah lewat, sekarang sudah tak sepedih kemarin, sudah lebih baik. Merelakan adalah obat dari setiap kehilangan, dan Rio tahu persis itu
Dilintasinya Gedung kuliah bersama, gedung dimana dia dan Ajeng bertemu untuk pertama kalinya, di gedung 6 lantai itu dia pernah meniti setiap tangga karena lift mati, melawan dingin dan kantuk hanya untuk melihat sebuah senyum, di gedung itu, ya disitu mereka bertiga bertemu, Rio, Ajeng, dan silaunya fajar.
Sudah 15 menit dia berdiri menatap gedung itu, terakhir kali mungkin, sejenak saja bernostalgia tak ada salahnya, pikir Rio.
"Kamu ngapain Rio?"
"Aku udah 4 tahun lebih naik turun gedung ini"
"Dan kamu merasa gedung ini sangat berarti?"
"Iya, banyak hal terjadi disini, gedung ini menyaksikan itu semua"
"Itu semua? "
"Kamu lihat lantai paling atas itu, aku suka pemandangan pagi disitu"
"Kenangan tentang sesuatu ya?"
"Mmm iya, sesuatu yang masih aku ingat dan ingin aku lupakan"
"Tentang seseorang yang memiliki sebagian masa lalumu?"
"Kurang lebih seperti itu. Menurutmu... manakah yang lebih penting, masa lalu atau masa depan?"
"Keduanya... tapi kita harus selalu memilih mana yang akan kita jalani..."
Sedikit banyak Rio akhirnya mengerti bahwa masa lalu sudah berlalu, dan masa depan sedang menunggu untuk dijalani, masa yang belum dia ketahui akan berjalan seperti apa. Masa lalu dan masa depan dipertemukan oleh masa kini, masa dimana keputus asaan lama diakhiri dan tempat dimana harapan baru muncul, lewat berbagai cara.
Dan kali ini sepertinya harapan itu dibawa oleh seseorang, dan lewat dia (sepertinya) langkah baru akan dimulai.
"... Seperti apa masa lalu itu? aku ingin sedikit melihat"
"Aku sudah melupakan semuanya, awal dan semua isinya"
"Karena?"
"Karena semuanya sudah selesai, dan yang baru sudah siap dimulai" katanya sambil tersenyum ke perempuan itu.
Digandenganya tangan masa depan itu ke arah matahari, jika harus melupakan pagi dia akan melakukannya, tapi percuma karena besok pagi juga akan menyapa kembali, lebih baik seperti ini, dimana pagi tetap menemani, tapi bukan untuk mengenang masa lalu, tapi berjalan kedepan... dan terus kedepan.
**TAMAT**
Posted by Unknown
Malang, 18 April 2010 06:30 AM
Sepanjang jalan Semeru masih berembun, cahaya matahari mengintip dari balik rimbun dedaunan di sepanjang jalan yang masih dingin. Terlihat sekelompok pria lanjut usia melintas dengan sepedanya masing-masing, usia mereka mungkin sekitar kepala lima namun masih terlihat bugar, mereka berhenti di salah satu sudut jalan, beberapa mengambil botol minum dan menenggaknya, beberapa mengelap peluh, terlihat beberapa orang lagi bergabung dengan kelompok itu, beberapa menit kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan, dengan sangat bersemangat.
Di sudut jalan yang lain para pedagang sudah bersiap menggelar lapak di pasar minggu, ya.. pasar yang hanya ada setiap minggu pagi, tempat warga Malang yang bisa bangun pagi di libur itu pergi, untuk sekedar mencari sarapan, menggandeng pasangan, atau bersama keluarga mengahabiskan akhir pekan. Selain pedagang yang menjual aneka jajanan, peralatan rumah tangga hingga obat oles serba guna ada pula Mas-mas berbaju ngejreng dari komunitas seni dari salah satu Universitas Negeri di Malang, mereka bermain alat musik, menyanyi, menari, berpantomim, sampai beratraksi dengan peralatan seadanya.
Jalan Semeru, belok kiri, 100 meter dari situ ada stadion yang merupakan markas salah satu tim sepakbola milik pemerintah Kota, di sampingnya terbentang arena olahraga untuk umum, tampak ramai walau sepagi itu, kalo sore hari akan lebih ramai lagi. Bila pagi itu hanya terlihat beberapa anak berseragam, bila sore akan hadir pemandangan mulai bocah-bocah yang menendang bola plastik sampai ibu-ibu muda, mereka berkelompok, memutar musik aerobik lalu mulai bersenam, dengan cantik.
Malang, kota yang menyimpan banyak kenangan untuk banyak orang, kenangan tentang pertemuan yang awalnya malu-malu namun akhirnya sama-sama mau, kenangan tentang jalanan sepi yang dilintasi senyum sepasang muda-mudi, kenangan tentang sebuah penantian yang akhirnya berujung manis, dan tentang sebuah pertemuan yang akhirnya pantas untuk direlakan karena harus menemui perpisahan.
Kampus, mal, taman kota, masjid raya, gelanggang olahraga, pasar, terminal, stasiun, toko helm, kolam ikan, tambal ban. Pertemuan terjadi dimana saja, kapan saja, siang atau malam, hujan atau panas, disengaja maupun tidak disengaja. Dan sebuah perpisahan pun juga begitu, bisa terjadi kapan saja dan dimanapun dia hendak hadir...
Tapi tidak selalu yang menemukan akan memisahkan, seperti halnya yang ditemukan akan dipisahkan...
Semalam, Dita, sahabat Ajeng menelefon Rio, dering telefon genggamnya diikuti perasaan was-was, dan telefon itu ditutup dengan perasaan kecewa, yang dulu menemukan kini akhirnya... dipisahkan. Hidupnya berjalan baik-baik saja sebelum kehadiran seorang wanita dimana hatinya tertambat itu, dan kini perpisahan membuat pertemuan akhirnya pantas direlakan.
"Ajeng titip salam buat kamu, dia bilang makasih atas semuanya, dia ga nyesel sama sekali ketemu sama kau Yo. Dia sekarang bahagia dengan cinta lamanya yang akhirnya kembali, udah Yo seperti kata Ajeng, kamu bakal baik-baik aja tanpanya"
"Makasih Dit, met malem.."
Pagi itu, di sebuah kamar berdinding biru, cahaya mentari pagi halus menyelinap ke tatapan kosong Rio, cahaya pagi yang tadi menyapa pepohonan jalan Semeru, dan mungkin cahaya yang sama dengan sebuah pagi dimana mereka dipertemukan, yang sampai detik ini masih tersimpan rapi dalam ingatan.
Yang ditemukan, akhirnya pergi, menghadirkan perpisahan yang terasa dingin. Meninggalkan seseorang dalam sendiri, seseorang yang masih berharap semua akan kembali dan menolak pertemuan baru. Sebuah hati yang sepertinya telah nyaman, dan sebuah rasa yang ingin sekali secara langsung diungkapkan.
Posted by Unknown





